9 Mei 2012

Tulisan Cinta Sang Ustadz

Bicara tentang cinta tak ada habis-habisnya, namun tak lengkap rasanya bila Anda belum membaca tulisan dariUst. Anis Matta, Lc. Saya harus mengutip semua isi tulisannya karena mengutip sebagian-sebagian hanya akan mengurangi keindahan isi tulisan ini. Kecerdasan beliau dalam menjelaskan sesuatu membuat kita tak bosan membacanya dan bahkan bisa mendapatkan makna yang dalam dari pilihan kata dan logika berpikir yang tepat. Tidak hambar tetapi di bumbui oleh sentuhan-sentuhan perasaan yang menular kepada pembacanya. Saya dulu sangat terinspirasi akan tulisan ini sebelum menikah. Sekarang setelah 9 tahun usia pernikahan, tulisan ini justru semakin menambah kedewasaan saya tentang “Cinta”. Selamat terinspirasi.

BIAR KUNCUPNYA MEKAR JADI BUNGA

oleh : Anis Matta, Lc.

Ternyata obrolan kita tentang cinta belum selesai. Saya telah menyatakan sebelumnya betapa penting peranan kata itu dalam mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk ekspresi cinta. Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi. Karena itu ia bersifat fluktuatif naik turun mengikuti semua anasir di dalam dan di luar di diri manusia yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya saya juga mengatakan, mempertahankan dan merawat rasa cinta sesungguhnya jauh lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya. Jadi obrolan kita belum selesai.

Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya urgensi utk menjawab pertanyaan ini : apa itu cinta ? Itu terlalu filosofis. Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini : bagaimana seharusnya anda mencintai ? pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita. Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita.
Anis Keluarga Sakinah


Taman itu adalah kebenaran. Apa yg dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yg bergulir secara sadar di atas latar wadah perasaan kita Maka begitulah seharusnya anda mencintai; menyejukkan, menenangkan, namun juga menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini : menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini ; bagaimana istri anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan menumbuhkannya, mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya kehidupan.

Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu memperhatikan dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawatnya..menjaganya dengan sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pecinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan. Apakah anda telah mengenal isteri anda dengan seksama? Apakah anda mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah anda mengenal kecenderungan-kecenderungannya? Apakah anda mengenal pola-pola ungkapannya; melalui pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksinya, melalui isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya? Apakah anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah anda dapat melihat gelombang-gelombang mimpi-mimpinya,harapan-harapannya? Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rosululloh saw terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, ” Wahai Aisyah, aku tahu kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku. Jika kamu ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan : Ya Rosulullah ! tapi jika kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan sebutan ” Ya Muhammad”. Apakah beda antara Rosululloh dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu saja ? Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata yang satu pada situasi jiwa yang lain. Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu menerimanya apa adanya.

Apa yang sering menghambat dlm proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau “obsesi” yang berlebihan terhadap fisik. Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika anda dapat menerima apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa anda menyukai kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya. Apakah yg ia harap dari bayi kecil itu ketika ia merawatnya, menjaganya, dan menumbuhkannya? Apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas kebaikannya? Tidak. Semua yg ada dlm jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya peluang utk berubah dan berkembang. Dan karenanya ia menyimpan harapan besar dlm hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah yg akan menjadikan segalanya lebih baik. Penerimaan positif itulah yang mengantar kita pada kerja mencintai selanjutnya ; pengembangan.

Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yg tertutup. Ketika ia memasuki rumah anda, memasuki wilayah kekuasaan anda, menjadi istri anda, menjadi ibu anak-anak anda; Andalah yg bertugas membuka kelopak kuncup itu, meniup nya perlahan, agar ia mekar menjadi bunga. Andalah yg harus menyirami bunga itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati anda baginya, agar ia dapat menikmati cahaya matahari yg akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bunga-bunga cinta bersemi. Dan ungkapan “Aku Cinta Kamu” boleh jadi akan kehilangan makna ketika ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik dan mengembangkan. Apa yg harus anda berikan kepada istri anda adalah peluang utk berkembang, keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa superioritas anda terganggu. Ini tidak berarti anda harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah apa yg ia butuhkan. Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dlm keseimbangan. Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang anda perlu memotong sejumlah yg sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni.

Hidup adalah simponi yg kita mainkan dengan indah. Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri anda, tatap matanya lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri sendiri : Apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan anda? Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya : DAN NAFAS CINTANYA MENIUP KUNCUPKU… MAKA IA MEKAR MENJADI BUNGA…


http://ustadchandra.wordpress.com/2012/04/23/tulisan-cinta-sang-ustadz/

Bekerjalah Maka Keajaiban kan Datang

Judul di atas saya ambil dari salah satu judul buku yang ada di Dalam Dekapan Ukhwah karangan Salim A. Fillah. Saya begitu terkesan dengan buku ini terutama pada judul bagian ini “Bekerja Maka Keajaiban”, saya sangat suka sekali dan menjadi motivasi saya untuk melakukan sesuatu. Dalam buku tersebut dikisahkan tentang Kisah Hajar dan bayinya yang telah ditinggalkan oleh Ibrahim di suatu lembah. Langsung saja saya sharing kan ke teman-teman semua ya.. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar, yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohonan tempat bernaung. Tak terihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insane untuk berbagi kesah. Kecuali bayi itu. Isma’il. Dia kini mulai menangis begitu keras karena lapar dan kehausan. Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak balik tujuh kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami!” Maka keajaiban itu memancar. Zamzam! Bukan. Bukan dari jalan yang ia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang menangis. Yang haus. Yang menjejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita. Mari belajar pada Hajar bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Allah. Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahwa Dia tak pernah menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan yang tak kita sangka atas ridhaNya yang Maha Kuasa. Dan biarkan keajaiban itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki. Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Itu dia sedikit cerita yang saya kutip dari buku Dalam Dekapan Ukhwah karangan Salim A.Fillah. subhanallah bukan? Saya begitu takjub dengan kisah ini dan hikmah yang diambil. Benar memang jika kita bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu maka Allah pasti akan melihat kesungguhan kita dan akan memberikan hasil dari kesungguhan tersebut. Seperti mahfuzhat dalam bahasa Arab. “Man jadda wa jada”, “Barang siapa bersungguh-sungguh pasti ia akan mendapat”. Special thanks to Sallim A. Fillah.


http://ustadchandra.wordpress.com/2012/04/25/bekerjalah-maka-keajaiban-kan-datang/

Mengapa Kita Membutuhkan Hidayah?

Seberapa besarkah kebutuhan kita kepada hidayah? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan setidaknya ada 10 alasan yang melatarbelakangi doa yang senantiasa kita panjatkan dalam sholat kita. Yaitu doa meminta hidayah. Beliau memaparkan:

Barangsiapa yang mencermati segala kerusakan yang menimpa alam semesta secara umum maupun khusus, niscaya dia akan menemukan bahwa itu semua muncul dari dua sumber utama ini (yaitu akibat kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu, pent).

Adapun kelalaian, maka ia akan menghalangi seorang hamba dari mengetahui kebenaran sehingga membuatnya tergolong orang yang sesat. Adapun memperturutkan hawa nafsu akan memalingkannya dari mengikuti kebenaran sehingga membuatnya termasuk golongan orang yang dimurkai. Sedangkan orang yang dikaruniai nikmat itu adalah orang-orang yang diberi anugerah ilmu tentang kebenaran dan ketundukan untuk melaksanakannya serta mendahulukan hal itu di atas selainnya. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas jalan keselamatan. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang berada di atas jalan kehancuran.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan kita untuk mengucapkan setiap sehari semalam berkali-kali,“Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa lad dhaalliin.”Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 5-7)

Karena sesungguhnya seorang hamba sangat-sangat membutuhkan pengetahuan terhadap apa saja yang bermanfaat baginya dalam kehidupan dunia dan akheratnya. Sebagaimana dia juga sangat-sangat membutuhkan keinginan yang kuat sehingga bisa mendahulukan urusan yang bermanfaat baginya itu serta sebisa mungkin menjauhi segala hal yang membahayakan dirinya.

Dengan terkumpulnya kedua perkara ini maka sungguh dia telah mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus itu. Apabila dia kehilangan ilmu tentangnya maka dia akan menempuh jalan orang-orang yang sesat. Dan apabila dia kehilangan tekad dan keinginan untuk mengikutinya maka dia telah menempuh jalan orang-orang yang dimurkai. Dengan begitu bisa diketahui betapa agung kedudukan doa ini dan betapa besar kebutuhan hamba terhadapnya, karena kebahagiaan hidup di dunia dan akherat semuanya tergantung pada hal ini.

Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah dalam setiap waktu dan tarikan nafas, dalam segala urusan yang dia lakukan atau pun dia tinggalkan, karena sesungguhnya dia berada di antara berbagai keadaan yang dia pasti diliputi olehnya:

Pertama, hal-hal yang telah dia lakukan akan tetapi tidak mengikuti petunjuk akibat kebodohannya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk mencari hidayah kepada kebenaran dalam hal itu.

Kedua, dia sudah mengetahui hidayah dalam masalah itu, akan tetapi dia sengaja melanggarnya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk bertaubat dari kesalahannya.

Ketiga, hal-hal yang memang tidak diketahuinya baik ilmu maupun amalan yang benar padanya, sehingga dia pun kehilangan hidayah untuk mengilmui sekaligus mengamalkannya.

Keempat, hal-hal yang memang dia telah memperoleh sebagian hidayah dalam urusan itu akan tetapi belum sempurna, maka dia butuh untuk mendapatkan hidayah yang sempurna padanya.

Kelima, hal-hal yang dia telah mendapatkan hidayah terhadap pokok kebenaran dalam hal itu secara global saja, maka dia pun masih membutuhkan hidayah terhadap rincian-rinciannya.

Keenam, dia telah mendapatkan hidayah ‘menuju’ jalan yang lurus itu, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berjalan ‘di atasnya’. Karena hidayah ‘menuju’ jalan itu lain, sedangkan hidayah ‘di atas’ jalan itu sesuatu yang lain lagi. Bukankah anda bisa melihat bahwasanya seseorang bisa jadi telah mengetahui bahwa jalan menuju negeri anu adalah jalan ini dan itu. Meskipun demikian dia tidak sanggup untuk menempuhnya. Karena untuk bisa menempuh jalan itu masih memerlukan hidayah yang lebih khusus lagi untuk bisa berjalan di atasnya. Seperti misalnya dengan melakukan perjalanan di waktu ini bukan di waktu yang itu, kemudian mengambil air di jarak sekian dengan jumlah sekian, lalu singgah di tempat ini bukan di tempat yang itu. Inilah hidayah yang dibutuhkan untuk bisa menempuh jalan itu yang terkadang diabaikan oleh orang yang sudah mengetahui jalan tersebut, sehingga dia pun gagal dan tidak berhasil mencapai tujuan.

Ketujuh, dia juga membutuhkan hidayah untuk hal-hal yang terkait dengan masa depannya sebagaimana yang dia dapatkan pada waktu yang telah berlalu.

Kedelapan, perkara-perkara yang dia tidak bisa meyakini apa yang benar dan batil dalam hal itu, oleh sebab itu dia masih membutuhkan hidayah kepada keyakinan yang benar di dalamnya.

Kesembilan, perkara-perkara yang telah diyakini olehnya bahwa dia berada di atas petunjuk akan tetapi sebenarnya dia berada di atas kesesatan dalam keadaan tidak menyadarinya. Dengan demikian dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk bisa meninggalkan keyakinan tersebut.

Kesepuluh, hal-hal yang telah dia lakukan sebagaimana hidayah yang sebenarnya, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berbagi hidayah itu kepada selainnya, agar bisa membimbing dan mengarahkannya. Karena apabila dia melalaikan hal itu niscaya dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan kelalaiannya tadi. Sesungguhnya balasan itu serupa dengan jenis amalan. Semakin dia berjuang dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada orang lain maka semakin besar perhatian Allah dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada dirinya, sehingga dia akan bisa menjadi orang yang mendapat hidayah dan menyebarkannya.

Hal itu sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan selainnya, “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang yang memberikan hidayah dan terus diberi hidayah, tidak sesat dan tidak pula menyesatkan. Mendatangkan keselamatan kepada wali-wali-Mu dan memerangi musuh-musuh-Mu. Dengan cinta-Mu Kami mencintai orang yang mencintai-Mu. Dengan permusuhan-Mu kami akan memusuhi siapa saja yang menentang-Mu.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat sanadnya dilemahkan Syaikh al-Albani, tetapi sisi pendalilan dari hadits ini didukung oleh hadits yang lain)


http://ustadchandra.wordpress.com/2012/04/27/mengapa-kita-membutuhkan-hidayah/

Mengapa Perempuan Tidak Lebih Dari Satu Suami?

“Jika lelaki boleh beristri lebih dari satu, mengapa wanita tidak boleh bersuami lebih dari satu (poliandri)?”. Pertanyaan ini kadang terbesit dibenak kita atau bahkan digembar-gemborkan oleh sebagian aktifis feminis yang mengklaim sedang memperjuangkan kesetaraan gender. Mari kita simak jawabannya.

1. Ketentuan Dari Allah

Aturan bahwa wanita tidak boleh memiliki beberapa suami dalam satu waktu adalah ketentuan Allah Ta’ala. Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah kecuali menaati dan menerima dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)

Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya melainkan pasti memiliki hikmah yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah kepada ketentuan itu baik tahu akan hikmahnya, maupun tidak tahu hikmahnya. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27)

Adapun dalil tentang terlarangnya poliandri, diantaranya firman Allah Ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا * وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu” (QS. An Nisaa: 23-24)

Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء maksudnya: ‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang muhshanat yaitu yang sudah menikah’. Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا فُرُوجَهُنَّ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki banyak suami. Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir, 2/256)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَنَّ النِّكَاحَ فِي الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ …. وَنِكَاحٌ آخَرُ: يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ العَشَرَةِ، فَيَدْخُلُونَ عَلَى المَرْأَةِ، كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا، فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ، وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا، أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ، حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا، تَقُولُ لَهُمْ: قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ، فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ

“Pernikahan di masa Jahiliyah ada empat cara …(beliau lalu menyebutkannya)… jenis pernikahan yang lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang dari 10 berkumpul lalu masuk menemui seorang wanita. Setiap mereka menyetubuhinya. Setelah beberapa waktu sejak malam pengantin itu, jika ternyata ia hamil, ia pun memanggil semua suaminya. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi, hingga semua suaminya berkumpul. Wanita itu berkata: ‘Wahai suamiku, kalian sudah tahu apa yang kalian telah lakukan kepadaku dan itu memang sudah hak kalian. Dan sekarang aku hamil. Dan anak ini adalah anakmu wahai Fulan’. Wanita itu menyebut salah satu nama suaminya sesuka dia, lalu menasabkan anaknya pada suaminya tersebut. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi” (HR. Bukhari no.5127)

Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam menyifati poliandri sebagai perilaku jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan para ulama :

كل ما نسب إلى الجاهلية فهو مذموم

“Setiap perkara yang dinisbatkan pada Jahiliyyah adalah sesuatu yang tercela”

Jadi, mengapa poliandri tidak dibolehkan? Jawabannya, karena Allah Ta’ala telah menentukan demikian. Satu jawaban ini sejatinya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika masih ada yang penasaran lalu bertanya lagi ‘kenapa sih koq bisa-bisanya Allah menentukan demikian?‘, jawablah dengan firman Allah Ta’ala :

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

“Allah tidak ditanyai oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al Anbiya: 23)

2. Lelaki adalah pemimpin keluarga

Islam juga mengatur bahwa lelaki adalah pemimpin rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa: 34)

Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829)

Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara maksiat. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya akan dikatakan padanya kelak: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan’” (HR. Ahmad 1661, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 1/660)

Nah, jika seorang wanita memiliki lebih dari satu suami, apakah organisasi rumah tangga akan berjalan dengan banyak pemimpin? Suami mana yang akan ditaati? Bagaimana jika para suami berselisih dan memberi perintah berlainan?

3. Cobaan terbesar bagi lelaki adalah wanita, namun tidak sebaliknya

Cobaan terbesar dan terdahsyat serta paling menjatuhkan seorang lelaki pada titik terendahnya adalah wanita. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam sering kali mewanti-wanti hal ini. Beliau bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi kaum lelaki selain wanita” (HR. Bukhari 5096, Muslim 2740)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Berhati-hatilah dari fitnah dunia dan waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama yang melanda Bani Israil adalah wanita” (HR. Muslim 2742)

Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)

Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)

Oleh karena itulah Allah Al Hakim, Yang Maha Bijaksana, mensyariatkan poligami (baca: poligini) bagi laki-laki sebagai salah satu jalan untuk meringankan cobaan dari godaan wanita. Namun sebaliknya, tidak kita dapati dalil yang menunjukkan bahwa cobaan terbesar wanita adalah godaan pria. Ini adalah salah satu hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan.

4. Menjaga kejelasan nasab

Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah nasab ini sangat urgen dalam Islam. Sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya” (HR. Bukhari 4326, Muslim 63)

Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu:

خِلاَلٌ مِنْ خِلاَلِ الجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ

“Diantara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab” (HR. Bukhari 3850)

Di antara sebabnya, nasab menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dll.

Jika satu wanita disetubuhi oleh beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami yang mana, sehingga tidak jelas akan dinasabkan kepada siapa.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki‘, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Maha Tinggi dan Maha Suci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65)

Beberapa Syubhat

1. Jika yang menjadi kekhawatiran adalah percampuran nasab, bukankah sekarang sudah ada tes DNA?

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab pertanyaan ini: ”Poliandri dapat menjadi sebab terjangkitnya berbagai penyakit berbahaya seperti AIDS atau yang lainnya. Selain itu, tidak adanya keteraturan dalam rumah tangga karena tidak adanya patokan nasab dan anak-anak pun menjadi kacau. Adapun pemeriksaan medis yang sebutkan itu (cek DNA), tidak bisa dipastikan 100%. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran secara syar’i dalam penetapan nasab atau dalam mengingkarinya”. (Fatawa IslamWeb no.112109, http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=112109)

2. Kalau lelaki punya keinginan kepada banyak wanita karena alasan syahwat, bukankah wanita juga punya syahwat?

Ibnul Qayyim berkata, “Jika ada yang berkata ‘Mengapa hanya memperhatikan dan mengangkat sisi kaum lelaki saja, serta hanya memenuhi kebutuhan syahwat lelaki saja sehingga mereka bisa berganti dari istri yang satu kepada istri yang lain sesuai kebutuhan syahwatnya? Padahal wanita juga memiliki panggilan syahwat‘. Kita jawab, wanita itu sebagaimana kebiasaan mereka wajahnya terlindungi oleh cadar dan berada di rumah-rumah mereka, gejolak mereka pun lebih dingin dibanding laki-laki, pergerakan lahir dan batin mereka lebih sedikit dibanding laki-laki, oleh karena itulah lelaki yang diberi kekuatan dan gejolak panas yang merupakan kunci penguasaan syahwat. Itu diberikan kepada laki-laki dalam jumlah yang lebih besar. Bahkan kaum laki-laki pun mendapat cobaan karena hal itu, sedangkan wanita tidak. Sehingga dimutlakkan bagi laki-laki berupa banyaknya jumlah pernikahan yang bolehkan (dalam satu waktu) sedangkan wanita tidak. Ini adalah hal yang dikhususkan dan dilebihkan oleh Allah untuk kaum laki-laki. Sebagaimana juga Allah utamakan mereka dalam hal pengembanan risalah, kenabian, khilafah, kerajaan, kepemimpinan hukum, jihad dan hal lainnya.

Allah juga menjadikan lelaki pemimpin bagi wanita, yang berkewajiban menjaga maslahah istrinya dan menjalani berbagai resiko dalam mencari penghidupan istrinya. Mereka menunggang kuda, menjelajah gurun, menghadapi berbagai bencana dan ujian demi kemaslahatan sang istri. Allah Ta’ala itu Syakuur (Sebaik-baik Pemberi Ganjaran) dan Haliim (Maha Pemurah). Sehingga Allah memberi balasan kepada kaum lelaki berupa kebolehan berpoligami, dan mengganti segala kesusahan mereka itu dengan membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan bagi wanita. Dan anda yang berkata, jika anda membandingkan antara cobaan bagi lelaki berupa lelah-letih, kerja keras, kesusahan yang dialami kaum lelaki demi masalahat istrinya dengan cobaan yang dialami kaum wanita yang berupa kecemburuan, anda akan dapatkan bahwa apa yang dialami kaum lelaki itu jauh lebih besar kadarnya. Inilah salah satu bentuk sempurnanya keadilan, kebijaksanaa dan kasih sayang Allah Ta’ala. Segala puji bagi Allah sebab memang Dialah yang memiliki segala pujian” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65-66)

3. Syahwat wanita lebih besar dari syahwat lelaki

Karena syahwat wanita lebih besar dari lelaki, maka bagi wanita tidak cukup hanya satu suami. Demikian bunyi salah satu syubhat. Ibnul Qayyim membantah pernyataan ini: “Adapun perkataan seseorang bahwa syahwat wanita lebih besar dari syahwat lelaki, ini tidak benar. Syahwat itu sumbernya dari hawa panas. Hawa lelaki lebih panas dari wanita. Namun wanita, jika ia sendiri, kesepian, dan ia tidak bisa menahan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan syahwat dan memuaskan dirinya, maka ia pun dapat ditenggelamkan oleh syahwat sehingga syahwat menguasai dirinya. Ketika tidak ada hal yang dapat menjadi pelampiasan, bahkan disertai perasaan kesepian, maka bisa terjadi apa yang terjadi. Sehingga ketika itu disangkalah bahwa syahwat wanita lebih besar dari laki-laki. Ini tidak benar. Telah dibuktikan bahwa lelaki bisa mencampuri istrinya lalu mencampuri istrinya yang lain dalam satu waktu.

كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ

‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasalam biasa menggilir istri-istrinya dalam satu malam‘

Bahkan Nabi Yusuf menggilir 90 orang istrinya dalam satu malam. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa wanita biasanya hanya memiliki satu kali klimaks. Jika seorang lelaki telah memuaskan seorang wanita, hingga terpenuhi syahwatnya, dan hilang nafsunya, wanita tersebut tidak akan meminta yang lain ketika itu. Maka, sifat demikian sesuai dengan hikmah dari takdir Allah dan hikmah ketetapan syariat bagi hamba dan ummat” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/66)

http://ustadchandra.wordpress.com/2012/05/08/mengapa-perempuan-tidak-lebih-dari-satu-suami/